Para pemerhati Internet atau pengguna aktif pasti tidak asing dengan
undang-undang yang dikeluarkan pada tahun 2008 kemarin. Peraturan baru
ini bernama merupakan Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Peraturan ini merupakan undang-undang yang tergolong masih baru di
Indonesia, karena untuk pertama kalinya kita memiliki peraturan cyber di
negeri ini.
Latar belakang adanya UU ITE ini bertujuan untuk menjamin kepastian
hukum di bidang informasi dan transaksi elektronik. Jaminan tersebut
penting, mengingat perkembangan teknologi informasi telah mengakibatkan
perubahan-perubahan di bidang ekonomi dan sosial. Perkembangan teknologi
informasi telah memudahkan kita mencari dan mengakses informasi dalam
dan melalui sistem komputer serta membantu kita untuk menyebarluaskan
atau melakukan tukar-menukar informasi dengan cepat. Jumlah informasi
yang tersedia di internet semakin bertambah terus tidak dipengaruhi oleh
perbedaan jarak dan waktu. Perkembangan seperti inilah memungkinkan
orang untuk melakukan kejahatan ataupun kecurangan di dunia maya. Hal
inilah mendorong pemerintah untuk membuat hukum di lingkungan cyberini.
Memang
UU ini masih mengundang berbagai kontroversi mulai dari permasalahan
terkekangnya kebebasan pers sampai ketidakpastian hukum pada beberapa
pasal yang terakhir menyebabkan kasus seperti Prita. Namun jika dilihat
secara keseluruhan, ini merupakan sebuah kemajuan Indonesia di bidang cyber,
terutama undang-undang ini diharapkan dapat melindungi para konsumen
ataupun penjual di dunia maya. UU ITE khususnya pada Bab V pasal 17
sampai dengan pasal 22 menciptakan aturan baru dibidang transaksi
elektronik yang selama ini masih belum ada. Walaupun aturan tentang
transaksi elektronik tidak diatur secara khusus dalam suatu
undang-undang, keberadaan pasal inilah yang dapat digunakan bagi
pengguna e-commerce. Terlebih saat ini pemerintah tengah mematangkan lahirnya Peraturan Pemerintah di bidang Transaksi Elektronik.
Namun, untuk mencapai tahap di mana melindungi konsumen dan pelaku e-commerce
dengan UU ini sepertinya tidak akan gampang. Seperti yang kita ketahui
transaksi e-commerce sudah pasti sebuah transaksi maya, walau demikian
transaksi elektronik dalam e-commerce di Indonesia harus tetap tunduk
pada ketentuan yang tercantum dalam UU No.8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen. Keberadaan UU ITE dapat dijadikan partner hukum
UU Perlindungan Konsumen untuk saling mendukung satu sama lainnya.
Masalahnya, bagaimana jika pelaku usaha dalam e-commerce
tersebut tidak berada pada wilayah domisili yurisdiksi Indonesia. Inilah
yang kemudian disebut sebagai salah satu kelemahan penggunaan UU
Perlindungan Konsumen dalam transaksi e-commerce. UUPK secara tegas
menekankan bahwa aturan tersebut hanya dapat diberlakukan kepada pelaku
usaha yang bergerak di dalam wilayah hukum Republik Indonesia.
Selain
itu, secara jelas menyebutkan bahwa prinsip utama transaksi elektronik
adalah kesepakatan atau dengan ”cara-cara yang disepakati” oleh kedua
belah pihak (dalam hal ini pelaku usaha dan konsumen). Transaksi
elektronik mengikat para pihak yang bersepakat sehingga dalam sudut
pandang perlindungan konsumen, konsumen yang melakukan transaksi
elektronik dianggap telah menyepakati seluruh syarat dan ketentuan yang
berlaku dalam transaksi tersebut. Hal ini berkenaan dengan klausula baku
yang disusun oleh pelaku usaha yang memanfaatkan media internet.
Artinya, hak pelaku usaha e-commerce dilindungi begitu pembeli menekan “I agree”, tetapi belum tentu bagi konsumen. Di sini letak ketidakseimbangan bagi konsumen.
Belakangan
bermunculan desakan-desakan untuk melakukan revisi atas UU ini.
Diharapkan memang akan dilakukannya perubahan sehingga nantinya
perundang-undang mengenai transaksi online semakin jelas dan dapat
berlaku adil bagi pihak pembeli maupun penjual di dunia maya.
Sumber : .computesta
Posting Komentar